Senin, 04 Juli 2011

RADIO PERJUANGAN RIMBA RAYA

Saat itu sangat kritis……………………………
Pada tanggal 19 Desember 1948, Ibukota Republik Indonesia Yogyakarta, dikuasai Belanda. Radio Republik Indonesia yang mengumandangkan suara Indonesia merdeka ke seluruh dunia, tiada lagi mengudara. Radio Belanda Hilversum, secara lantang menyiarkan bahwa Republik Indonesia sudah hancur. Sebagian dunia mempercayai berita itu
Pada saat demikian gentingnya suasana, tanggal 20 Desember 1948 malam, RRR (Radio Rimba Raya) mengudara menembus angkasa memberitakan bahwa Republik Indonesia yang berdasarkan PANCASILA masih ada, dan Revolusi 1945 masih tetap menyala.
Tanggal 19 Desember 1948, Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo dalam sidang Dewan Pertahanan Daerah, antara lain memutuskan, tanggal 20 Desember 1948 pemancar RADIO yang kemudian dinamakan Radio Rimba Raya harus telah mengudara.
Tanah Aceh, DAERAH MODAL REPUBLIK INDONESIA, dalam menghadapi segala peristiwa yang terjadi, mempersiapkan diri mendatangkan sebuah pemancar yang kuat dari luar negeri.
Di Ronga-Ronga inilah, akhirnya setelah mengalami proses perjalanan panjang Radio Rimba Raya bermukim, dan tanggal 20 Desember 1948 secara berkala mulai mengudara.
Wilayah Takengon tak luput dari perjuangan di “udara” tersebut, salah satu stasiun radio yang ikut memperjuangkan dan memberikan pendidikan kepada rakyat tentang nasionalisme adalah radio Rimba Raya. Rimba Raya (Rime Raya) adalah sebuah daerah yang terdapat di Takengon Aceh tengah, 62 km dari Bireuen menuju Takengon (masa itu masih hutan belantara) dijadikan tempat pemancar atau bekumandangnya suara di udara, berupa radio. Radio merupakan salah satu sarana yang sangat penting yang harus dimiliki dalam rangka perjuangan pada masa itu. Melalui radio ini orang dapat mengetahui keadaan dan perkembangan yang terjadi. Atau juga dapat mengkoordinasikan kelompok-kelompok yang membentuk jaringan langsung dalam suatu masyarakat. Dengan adanya radio ini telah dapat memberikan berbagai informasi bagi penggalangan persatuan serta membangkitkan semangat bagi para pejuang dalam mempertahankan Aceh Akhususnya dan Indonesia umumnya.
Alasan kuat menempatkan pemancar radio di Rime Raya yng dibeli dengan darah dan nyawa, berada di tengah hutan, meski sesungguhnya telah ada jalan raya yang menghubungkan Takengon (Aceh Tengah) dengan daerah-daerah pesisir, agar tidak tercium oleh Belanda. Penyiarannya pun menggunakan Signal-Calling Sumatera, di bawah pimpinan Kolonel Husen Yusuf dan Abdullah Arif sebagai pembaca berita, khususny berita dan pesan-pesan revolusi ke seluruh pelosok tanah air dan luar negeri seperti terdengar di Penang, Singapura, dan Kuala Lumpur.
Dari segi politis, program siaran yang mengudara untuk meng-counter suara radio Belanda yang dipancarkan dari Medan dan Sabang, yang setiap malam melakukan ‘psy war’ (perang urat saraf) terhadap bangsa jajahannya. Rime Raya merupakan tempat pemancar radio terakhir setelah berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, mulai dari Kutaraja (Banda Aceh), Krueng Simpo-Biruen, Cot Gue (8 km dari selatan Banda Aceh), Burni Bius (20 Desember 1948, Ronga-ronga, tapi kemudian dipindahkan ke Rime Raya (Rimba Raya).
Kehadiran Radio Rimba Raya telah banyak membantu program perang gerilya (perlawanan rakyat semesta), karena saat situasi yang kritis ia berhasil memonitor dan menghubungkan poros Aceh-Sudarsono di India-Palar di PBB-PDRI di Suliki, dan Aceh-Radio gerilya Surakarta.
Keberadaan radio Rimba Raya sebagai radio siaran Gerilya mampu mengirim dan menerima berita (messege) Radiogram, yang membantu PDRI dapat secara terus menerus mengikuti siaran mengenai perkembangan yang terjadi di dunia Internasional melalui radio siaran luar negeri, seperti BBC, ABC, radio siaran Singapura dan malaya (sekarang Malaysia)
Fungsi radio Rime Raya antara lain untuk menggalang kekuatan bangsa, saling memberi dan menerima informasi, alat perang yang strategis, mengorbakan dan membangkitkan semangat perjuangan rakyat Aceh dan bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan.
Peranan Radio Perjuangan “Rimba Raya” di Takengon, (sekarang berada dalam Kabupaten Bener Meriah) sebagai satu-satunya media komunikasi massa yang menjebati RI-dengan luar negeri di masa-masa sulit, terutama di masa pemerintahan PDRI tahun 1948 setelah agresi ke II sampai menjelang Perundingan KMB di Den Haag.
Tugas radio “Perjuangan “Rimba Raya” ini berhasil menerobos Blokade militer Belanda di laut, Darat dan udara dengan menyampaikan pesan-pesan ketua PDRI ke perwakilan RI di New Delhi dan di PBB (Palar – Maramis), dan sebaliknya. Serta menyampaikan pesan-pesan PDRI ke Sumatera Utara dan Pulau Jawa dan Sebaliknya.
Radio “Rimba Raya” juga berhasil memantau “serangan Fajar” Pada tanggal 1 Maret 1949. Di samping itu radio ini juga setiap malam menyampaikan pesan-pesan khusus untuk pejuang di Front Medan Area.
Atas dasar fakta perjuangan Radio Rimba Raya yang memiliki peran sangat besar terhadap melahirkan dan menyelamatkan Indonesia dari penjajah, sangat diperlukan kajian ilmiah berupa seminar untuk membangun semangat mentalitas berbangsa dan bernegara
(K U R N I A)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar