Minggu, 03 Juli 2011

KORUPSI BAGAIKAN ASAP ROKOK

Merokok adalah kebiasaan buruk karena dapat merusak kesehatan bahkan orang yang di sekitarnya yang tidak merokok dapat terkena imbasnya. Kenikmatan merokok memang mengasikkan, dalam kesepian rokok dapat dijadikan teman. Namun apabila dilakukan dalam sebuah ruangan (institusi) dampaknya akan menjadi lain suasananya. kita akan melihat hisapan rokok semakin dalam dihisap akan semakin nikmat dan semakin besar kumpulan asap yang keluar dari mulut mengepul di atas. kumpulan asap itulah korupsi.
Kita hanya bisa melihat, merasakan tapi susah untuk dipepang. Sebuah kondisi lembaga-lembaga Negara di Indonesia dewasa ini. Beliau-beliau berdasi ini tahu korupsi itu adalah kejahatan dan perbuatan yang tidak benar bila ditinjau dari aspek apapun, namun mereka hanya memampang peringatan yang terpampang di atas pintu masuk sebuah ruangan (peraturan). Dengan kekuatan sebuah negosiasi peraturan hanya sebuah pajangan yang mengandung kemunafikan dalam sebuah sumpah.
Kebiasaan yang dilakukan dalam sebuah ruangan (birokrasi) sering mempermainkan waktu dari yang memdesak menjadi tidak penting kalau persoalannya bisa dipersulit untuk apa di permudah demikian sebaliknya, banyak kesepakatan-kesepakatan timbul dari kebiasaan yang terbiasa mereka lakukan bagaimana peran dan kedudukan di posisikan sebagai produk yang diperjual belikan mungkin kita tidak mau membeli namun barang yang kita dapatkan harus dibeli dengan harga kebohongan. Seorang perokok bukan hanya membeli baru bisa merokok, adakalanya diminta dan diberikan oleh orang lain sesama perokok. Ketika mereka bertemu peluang merokok besar sekali dan apabila bungkusnya sudah dibuka, perlahan-lahan batang demi batang akan habis terisap yang tinggal hanya kumpulan asap. Kita hanya mampu melihat bagaimana asap mengotori dinding ruangan, mungkin tampa terasa kita akan menghirup asap kotor yang dikeluarkan oleh mulut-mulut kekuasaan tanpa mampu bertindak.
Berbicara tentang asap harus pula ditelusuri dari mana sumbernya. Asap, bara api yang mengeluarkannya tentunya datangnya dari batang rokok, tampa dinyalakan mustahil rokok bisa dihisap artinya adanya sebuah sarana(kesempatan) adanya suatu suasana (keinginan) dalam melakukannya bisa bersama-sama dengan rekan, kolega, saudara bahkan lawan ketika rokok sudah diletakan di atas meja dengan merek yang sama atau berbeda. Namun dampaknya tetap merusak, kalaulah merusak diri sendiri merupakan sebuah resiko akan tetapi dapat merusak orang disekitarnya yang ikut menghirup tanpa menghisap dan menganggu suasana dan sarana orang yang duduk di meja lain yang tidak merokok bahkan ruangan yang lebih luas (Negara)
Dalam ruang (pemerintah) bungkus rokok merupakan lembaga institusi, batangnya adalah jabatan kekuasaan yang di-perjualbeli-kan, merek ibaratkan bidang yang dikerjakan, api tawaran yang mengiurkan, bara adalah kinerja, mulut adalah pelakunya. Sepakatkah kita melihat Negara ini diletakan di tempat sampah layaknya bungkus rokok yang jelas tidak dihargai oleh Negara lain dengan merek “Negara sampah”
Kalaulah memang bangsa kita punya budaya merokok (korupsi) bagaimana kelangsungan sebuah Negara karena memiliki pemimpin punya mulut berbau busuk.Birokrasi yang mempermainkan pelayanan terhadap public, peraturan dijadikan dagangan, institusi dijadikan pasar mampukah menciptakan peradapan sedangkan rakyatnya miskin pemerintahnya kaya. Dimana pertanggung jawaban dan kenapa pertanggung jawaban selalu menjadi bahagian akhir sandiwara kekuasaan, apa sebenarnya yang mereka lakukan, kenapa kesalahan selalu dihiasai dalam retorika kata-kata palsu
Mengisap rokok tentunya berbeda-beda cara mereka lakukan yang paling berbahaya adalah rokok rakitan (mafia korupsi). Mereka punya jaringan di setiap lini ruangan pemerintah. Bandar korupsi bertebaran dimana-mana pada tingkat pusat sampai tingkat daerah walaupun tanpa sruktur mafia korupsi ini hidup dengan suburnya kita bisa melihat kemewahan dan kesombongan yang mereka perlihatkan kepada kondisi kemiskinan. Sebagai distributor terbesar tentunya ada di tingkat pusat bentuk jual beli produk rokok dengan cara “ mark up, proyek fiktif, laporan palsu dan fee proyek serta banyak lagi cara-cara kotor lainnya. Sebagai penegak hukum polisi, jaksa dan pengadilan serta pengacara sebagai pembeli, pejabat pemerintahan sebagai penjual dan politisi sebagai Bandar menjalin hubungan M”o”U (memotong Ongkos usaha) atau A”b”T ( anggaran Biaya tanda tangan) kerja sama berdasarkan kesepakatan, namun tidak wajar. Paling nyata kita lihat pada Anggaran Pemborosan Belanja Negara (APBN) pada ruang pusat dan Anggaran Pemborosan Belanja Daerah (APBD) pada ruang daerah tingkat I dan tingkat II
Budaya yang tidak wajar ini diciptakan dan dipermainkan oleh pemilik kekuasaan apakah suatu kelaziman dan akan diwariskan kepada generasi muda bagaimana cara mendapatkan kuasa harus dengan mengeluarkan uang dan ketika berkuasa juga harus mendapatkan uang, inikah hakekat dari kekuasaan? akan tetapi dalam sudut pandang lain Budaya merokok hanya pemborosan yang merugikan diri sendiri dan keluarga, namun budaya korupsi merupakan pemborosan uang Negara. Budaya bangsa yang satu ini layakkah disebut sebagai karya seni yang kita benarkan kalau jawabannya ragu-ragu. Adakah kekuatan yang dapat diandalkan melarang orang menghisap rokok saat mereka nyalakan langsung kita matikannya. Kenapa keberadaan sebuah hukum dan peraturan dihianati dari ketentuan yang kita buat adakah ke-kurangsempurna-an dalam pembuatannya, besarkah pro kontranya, ahlikah yang merumuskan kalau sempurna, kanapa tidak mujarab. Dan satu hal lagi hukum dan peraturan untuk siapa dibuat, apakah memang dibedakan undang-undang mencuri (korupsi kecil) dengan undang-undang berbohong (korupsi besar) hukumannya. Kenapa ketaatan pada hukum kalah dengan ketakutan pada kemiskinan, dan apakah menjadi kaya harus melakukan korupsi sedangkan hukum ketika diletakan diatas meja sudah menjadi milik umum. Mengapa moral tidak mampu bersikap tegas, sudah hilangkah budaya malu dimana nilai-nilai prilaku kebenaran sebagai batasan berbuat dikandaskan oleh nafsu. Adakah yang membangkitkan dari kematian semu. Kenapa tatanan social tercabik oleh kekuatan materi kekuasaan menjadi tuhan kekuatan dijadikan senjata memporak porandakan intraksi social dan kenapa harus pesimis dengan kepercayaan. Kenapa amanah tidak dapat membentuk manusia yang jujur dan bersikap adil. Mengapa amanah dikelola dengan seenaknya, apakah iman hanya ada di ruang (sarana ibadah). Kenapa kita bisa kehilangan pedoman dalam satu ruang berbangsa dan bernegara. Kenapa kebijakan berpihak kepada kepentingan tertentu, sedangkan yang memberikan mandah diam. Adakah system politik yang mampu menemukan pemimpin dalam setiap ruang, betul-betul sebagai panutan dan membangun kejayaan ruangnya masing-masing. Adakah system rekrut pegawai yang berkualitas sehingga masuknya sampah keluarnya juga pasti sampah begitu pepatah manajemen berbicara.
Atau kita kaya dengan sampah rokok. Saran saya marilah kita buang sampah pada tempatnya.

Oleh : (K U R N I A)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar